Gelombang Kelaparan Mengintai Aceh Pascabanjir


BANDA ACEH – Air banjir yang menyapu Aceh Tamiang, Bireuen, hingga Bener Meriah memang sudah surut. Namun, setelah genangan menghilang, warga menghadapi ancaman lain: kelaparan, air bersih yang tak tersedia, serta penyakit yang mulai bermunculan di tenda-tenda pengungsian. Lumpur yang mengering di pekarangan rumah hanya menyembunyikan kesulitan yang makin menekan.

Arizal Mahdi, Ketua Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, menjadi salah satu suara yang paling vokal sejak bencana ini terjadi. Ia mengecam keras tertutupnya peluang bantuan asing padahal situasi di lapangan kian genting.

“Jangan biarkan rakyat kita kelaparan. Dunia siap membantu, pintunya jangan ditutup,” kata Arizal.

Tiga Hari Tanpa Makanan

Di Aceh Tengah, seorang ayah memangku anaknya yang pucat di atas tikar tipis. Mereka bertahan tiga hari dengan biskuit yang basah lumpur. Sang ibu jatuh sakit setelah meminum air tercemar. Rasa syukur karena lolos dari terjangan air kini berubah menjadi kecemasan.

Kondisi serupa muncul di Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Ribuan keluarga kehabisan bahan pangan. Obat-obatan tidak tersedia. Balita menangis kehausan, sebagian tumbang akibat kurang gizi, sementara lansia terbaring lemah di sudut tenda. Petugas lapangan melaporkan kekurangan akut: air minum layak, obat dasar, tempat beristirahat, pakaian hangat, hingga susu formula.

“Ketika bantuan internasional ditolak, penderitaan tidak hanya berlanjut. Ia memburuk,” ujar Arizal.

Cahaya Kecil di Tengah Lumpur

Di sebuah desa terisolasi, seorang ibu menyalakan lilin di dalam tenda gelap. Tiga anaknya merapat, mencoba mengusir rasa takut yang belum hilang sejak air bah datang. Angin malam membuat suara mereka bergetar.

“Kalau tidak ada makanan, setidaknya datanglah melihat kami,” bisiknya pelan. Kalimat sederhana yang memotret kesedihan yang jarang terdengar dari luar Aceh.

“Aceh Tidak Boleh Mengulang 2004”

Bagi warga, bayangan tsunami 2004 masih menggantung. Kini, banjir kembali merenggut rasa aman — bukan hanya karena air, tetapi ancaman kelaparan yang merayap cepat.

Menurut Arizal, sejumlah negara sahabat telah menyatakan siap mengirim makanan siap santap dan tenaga medis. Ia mengingatkan bahaya keterlambatan respons.

“Ini bukan soal kebanggaan atau politik. Ini nyawa manusia,” katanya.

Harapan Terakhir: ‘Buka Pintu Bantuan’

Tiga daerah — Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Tamiang — berada dalam kondisi paling mengkhawatirkan. Tempat pengungsian penuh. Penyakit pascabanjir mulai merebak. Persediaan pangan habis.

Di beberapa titik jalan, warga duduk berderet menunggu suara mobil bantuan. Sebagian menangis tanpa suara, lainnya memeluk anak mereka sambil berharap ada pertolongan malam itu.

Aceh, tulis Arizal, tidak meminta kemewahan. Yang dibutuhkan hanya makanan, air bersih, obat-obatan, tenda, dan selimut.

“Kemanusiaan tidak mengenal batas. Ketika orang kelaparan, tidak ada alasan menutup pintu bantuan,” ujarnya.

Posting Komentar untuk "Gelombang Kelaparan Mengintai Aceh Pascabanjir"