Paradoks Efisiensi di Negeri Rawan Bencana

Pemotongan anggaran pada lembaga-lembaga kunci penanganan bencana—BMKG, Basarnas, dan BNPB—bersamaan dengan menyusutnya dana transfer ke daerah, menempatkan pemerintah dalam posisi kontradiktif.

Rangkaian bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menyentuh lebih dari 3,3 juta jiwa. Dampak sebesar ini semestinya cukup kuat mendorong penetapan status bencana nasional. Namun keterlambatan membaca eskalasi risiko memperlihatkan satu persoalan lama: tata kelola kebencanaan masih reaktif, bukan preventif.

Awal 2025, APBN mencatat defisit 0,13 persen dari PDB atau sekitar Rp 31,2 triliun. Belanja negara dalam dua bulan pertama mencapai Rp 316,9 triliun. Tekanan fiskal kian berat setelah anggaran program makan bergizi gratis melonjak drastis—dari proyeksi Rp 71 triliun menjadi Rp 171 triliun. Untuk menutup celah ini, pemerintah memilih jalan pintas: efisiensi menyeluruh, termasuk pada sektor vital.

Konsekuensinya terasa langsung di lapangan. Anggaran BMKG dipangkas hingga hanya menyisakan pagu Rp 1,4 triliun. Dampaknya bukan sekadar angka di atas kertas: 71 persen alat operasional tak terawat, sekitar 600 sensor cuaca tak berfungsi optimal. Padahal, sistem peringatan dini bergantung pada keandalan perangkat-perangkat itu.

Masalah lain datang dari sisi regulasi. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 membatasi gerak daerah dalam situasi darurat. Anggaran baru bisa digunakan setelah status tanggap darurat ditetapkan. Prosedur ini memakan waktu, sementara bencana tak menunggu administrasi rampung. Di Kabupaten Simeulue, Aceh—yang baru diguncang gempa—dana transfer justru turun dari Rp 570 miliar menjadi Rp 562 miliar.

Penyusutan anggaran itu memukul banyak lini: logistik tersendat, pembukaan akses jalan terhambat, mobilisasi personel melambat, rehabilitasi infrastruktur tertunda. Ketika BMKG melemah secara teknis, Basarnas menunda perawatan alat, BNPB kehilangan daya dorong, dan daerah kekurangan ruang fiskal, maka kegagalan penanganan bencana menjadi persoalan sistemik.

Banjir dan longsor yang melumpuhkan hampir seluruh kabupaten di Aceh kembali menyingkap pola lama. Negara hadir sebatas ritual: kunjungan singkat, pemantauan, dokumentasi, pembagian bantuan, lalu pergi. Tragedi berulang, pendekatan tak berubah.

Selama negara masih bekerja dengan logika pemadam kebakaran—sibuk setelah api membesar—penderitaan warga akan terus berulang. Lebih dari itu, risiko lanjutan selalu mengintai: wabah penyakit pascabanjir, krisis air bersih, ekonomi lokal lumpuh, dan kemiskinan baru di kamp-kamp pengungsian.

Dalam situasi seperti ini, keraguan tidak lagi relevan. Aceh membutuhkan intervensi struktural: pembangunan tanggul dan kanal pengendali banjir yang terintegrasi, rehabilitasi daerah aliran sungai secara besar-besaran, penataan ulang kawasan rawan, sistem peringatan dini presisi tinggi, serta perlindungan sosial jangka panjang. Beban sebesar itu tak mungkin dipikul daerah sendirian.

Dana Lender Tertahan, Kepercayaan Dipertaruhkan

Persoalan lain yang tak kalah serius terjadi di sektor keuangan. Hingga 20 November 2025, dana yang tertahan di Dana Syariah Indonesia (DSI) mencapai Rp 1,131 triliun, berasal dari 3.787 pemberi pinjaman. Angka ini berpotensi jauh lebih besar, mengingat manajemen DSI menyebut jumlah lender aktif mencapai sekitar 14 ribu orang. Banyak di antara mereka—terutama pensiunan—belum melapor karena keterbatasan akses dan literasi digital.

Sejak awal Oktober 2025, pembayaran kepada lender berhenti total. Pertemuan antara Paguyuban Lender dan manajemen DSI pada 18 November 2025 menghasilkan sejumlah kesepakatan. Salah satunya pembentukan Badan Pelaksana Penyelesaian (BPP). Namun Paguyuban menolak berada dalam satu struktur dengan DSI. Pengembalian dana disepakati rampung dalam waktu satu tahun sejak kesepakatan diteken, disertai komitmen laporan rutin melalui Zoom minimal sekali sepekan.

Kesepakatan lanjutan dicapai dalam pertemuan daring pada 29 November 2025. DSI berjanji membuka transparansi data sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40 Tahun 2024 paling lambat 1 Desember 2025. Kondisi keuangan perusahaan, termasuk dana awal tahap pertama, dijadwalkan dipaparkan selambat-lambatnya 2 Desember 2025. Formula pencairan difinalkan pada 6 Desember 2025.

Sebagai tindak lanjut, DSI memulai transfer tahap awal pada 8 Desember 2025 dan melanjutkan pengembalian dana berkelanjutan pada 13 Desember 2025. Skema ini dirancang agar proses pencairan berjalan konsisten hingga seluruh dana lender kembali sepenuhnya.

Dua persoalan ini—bencana dan dana publik—berangkat dari sektor berbeda, tetapi bertemu pada satu simpul yang sama: lemahnya negara dalam menjaga kepercayaan, melindungi warga, dan mengelola risiko. Ketika negara mengecilkan perannya, dampaknya tak pernah kecil bagi masyarakat.

Posting Komentar untuk "Paradoks Efisiensi di Negeri Rawan Bencana"